Keajaiban itu Ada. By Herlina Madje
Keajaiban itu Ada
Awal mula saya tergerak untuk berjualan kue sebenarnya bukan tanpa sebab. Di tahun 1999, suami sedang menjalankan sebuah proyek di Kepulauan Selayar, deretan kepulauan di ujung Selatan pulau Sulawesi. Tiap kali pulang ke Makassar, beliau selalu dihadiahi aneka hasil bumi dalam jumlah banyak oleh penduduk setempat. Ada pisang, kelapa, pepaya, mangga, jeruk, terasi, kenari, dan macam-macam lagi, tergantung musimnya. Barang-barang itu, setelah saya bagi akhirnya ada juga yang tinggal dan busuk. Kasihan juga.
Berulang kali seperti itu, akhirnya saya tergerak untuk membuat kue dan menjualnya. Jenis kue pertama yang saya jual adalah barongko, yang bahan dasarnya pisang. Saya memanfaatkan bahan baku yang ada saja. Promosi pun hanya ke tetangga terdekat.
Setelahnya, ada beberapa tetangga yang kemudian mengusulkan agar saya berjualan kue jenis lain. Mulanya saya agak berat. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah nekad berjualan kue dengan menitipkannya di warung-warung. Hal itu saya lakukan untuk memaksa suami meloloskan keinginan saya bekerja kantoran. Tapi bukannya berhasil meluluhkan suami, saya malah kecapekan sendiri dan berhenti. Itu makanya saya tak serta merta mengiyakan usulan tersebut. Bikin kue itu capek. Apalagi kue tradisional yang setiap langkah dari proses pembuatannya harus ditangani secara manual. Niat awal menjual kali ini memang hanya untuk menyelamatkan bahan yang tersisa karena banyak. Itu saja. Saya tak berpikir untuk mengembangkannya.
Tapi ... setelah dipikir-pikir, apa salahnya dicoba. Baiklah. Lagi pula, saya tak memiliki kesibukan di rumah. Anak-anak sudah mulai besar. Sudah bisa main sendiri. Langganan juga masih sangat terbatas. Kadang ada yang pesan hari ini, seminggu kemudian baru ada lagi. Kadang bahkan hingga dua mingguan tidak ada pesanan. Tidak repot sama sekali.
Tahun 2002, musibah datang menghantam. Usaha yang suami bangun bersama temannya mengalami masalah. Mereka pecah kongsi dan uang yang kami investasikan ke usaha tersebut, hilang! Saya tak perlu menceritakan kronologi hingga usaha tersebut ambruk, panjang ceritanya. Tetapi inti dari kegagalan itu cuma satu, kami bangkrut! Untungnya, meski tabungan habis, urusan dapur masih bisa berjalan sebab suami masih memiliki gaji dosen. Untungnya lagi karena kami tak memiliki utang bank. Tetapi, hidup tanpa tabungan sedikit pun membuat saya dilanda kecemasan. Bagaimana kalau anak sakit? Bagaimana kalau ...? Bagaimana kalau ...? Dan banyak lagi pengandaian. Hidup menjadi tidak tenang.
Walhasil, apa yang saya khawatirkan benar-benar terjadi. Suami dan anak-anak bergantian sakit dan harus berurusan dengan dokter dan rumah sakit. Kami benar-benar kewalahan untuk menutup biaya perawatan. Di saat itu, saya merasa ingin membunuh teman yang telah menjerumuskan kami dalam kesulitan keuangan. Untungnya dia telah pergi jauh dan kami kehilangan jejak.
Sejujurnya, dirugikan dalam jumlah besar amatlah sulit untuk dimaafkan. Saya tidak mampu melakukannya dengan serta merta. Berbulan-bulan saya sakit hati dan hidup dengan rasa marah dan benci. Bagaimana tidak, dulu ketika ia membutuhkan uang kami, mereka (suami isteri) datang ke rumah dengan baik dan penuh keakraban. Setelah keinginannya terkabul, akhir cerita kami malah mau disantet. Asyik sekali mereka!
Allah memerintahkan untuk menyambung silaturrahim, itu bukan barang baru saya dengar. Tetapi kejadian yang menimpa ketika itu membuat saya sadar bila ujian terbesar bagi sebuah ikatan silaturrahim adalah jika satu pihak mengkhianati pihak lainnya. Asli sebuah ujian! Banyak orang yang gagal di titik ini! Saat itu, saya pun berpikir apa mampu melewati ujian ini? Dia bersenang-senang sementara kami harus menanggung kerugian. Jangankan seuntai kata maaf, dia bahkan menghilang. Kami hanya disodori dua pilihan, membenci atau membenci! Tak ada kata memaafkan dalam pilihan itu.
Jika hati lebih condong untuk membenci, sebab semua alasan menguatkan pilihan itu. Siapapun pasti takkan menyalahkan andai saya membenci. Itu manusiawi! Hanya sedikit manusia yang mungkin akan menyelisih jalan itu andai ditimpa masalah yang sama. Dan saya bukan bagian dari mereka. Saya memilih membenci.
Di masa sulit itu, kesehatan saya ikut memburuk. Perasaan tertekan dan mimpi buruk hampir setiap malam. Tubuh mulai digerogoti sakit maag dan dirundung sakit kepala yang tak sembuh-sembuh. Hidup menjadi kian berat. Berbulan-bulan saya mengalami masa-masa seperti itu. Menjadi jelek, gendut dan suram.
Suatu hari, salah seorang anak saya jatuh dari lantai dua. Saya tidak mampu berdiri karena takut.Sekujur tubuh gemetar. Ayahnya yang bergerak cepat mengangkat dan memeriksa tubuh anaknya. Saya baru beranjak setelah mendapat kabar baik, hanya dahinya yang benjol sebesar telur ayam. Si anak masih sadar dan tak mengalami patah tulang. Alhamdulillah. Tapi sepanjang hari itu saya berdebar dan terus berdoa agar agak si anak tak muntah dan demam. Jika kedua gejala itu muncul dalam dua belas jam, warning untuk membawanya ke rumah sakit. Berarti geger otak!
Di atas sajadah saya menangis dan memohon. Dan saya bersyukur permohonan itu diijabah. Anak saya selamat dari geger otak. Dan entah kesadaran dari mana, saya tiba-tiba tergerak untuk memaafkan semua orang yang pernah bersalah pada saya. Semuanya! Memaafkan hingga semua ganjalan di hati musnah. Saya ingin hidup dengan cara yang berbeda. Bismillah.
Ajaib, pemberian maaf itu membuat hati saya lapang dan ringan. Masalah tak lekas berlalu hanya saja suasana hati saya sudah jauh berbeda. Alhamdulillah.
Apakah saya takkan menerima andai teman tersebut datang dan mengembalikan uang kami? Saya akan menerimanya dengan senang hati. Hanya saja, tak lagi menunggunya dengan sakit hati. Tak dibayarpun sudahlah. Tidak ada sesuatu yang terjadi melainkan atas seizin Allah.
Dalam masa-masa sulit, jualan kue masih tetap berjalan. Kegiatan itu menjadi hiburan sebab di rumah saya tak memiliki kesibukan. Kalau saya bengong saja, pikiran jadi kemana-mana. Dengan menyibukkan diri ada ruang bagi saya untuk melupakan semua beban.
Tahun 2005, ada sebuah keanehan yang terjadi. Kejadian ini yang menjadi titik balik bagi kehidupan saya. Dari sanalah, saya mulai berpikir untuk fokus menjalani kegiatan berjualan kue. Saat itu, mendadak orang-orang yang saya tak kenali berdatangan memesan kue. Sungguh, sampai sekarang pun saya masih bingung darimana mereka tahu padahal saya tak pernah berpromosi keluar. Mereka datang satu demi satu bagai digiring oleh sebuah kekuatan gaib. Entahlah. Mendadak saya dikenali banyak orang. Saya sadar, pasti ada penjelasan logis mengenai hal ini, hanya saja saya belum diberi kesempatan untuk mengetahuinya. Mungkin seseorang di luar sana dengan diam-diam mempromosikan jualan saya. Terima kasih dan semoga Allah menganugrahi keberkahan di sepanjang hidup dan akhiratnya. Aamiin.
Dalam kebingungan itu, saya tetap melayani pesanan mereka dengan sebaik-baiknya. Dari merekalah saya mendapatkan pesanan yang banyak dan beragam serta menjadi cikal bakal berdirinya Kue Bugis Tradisional.
Apakah usaha ini sudah besar? Tidak! Kue Bugis Tradisional masihlah usaha rumahan. Yang besar dari usaha ini hanya pelanggannya. Alhamdulillah, jumlah orang-orang yang mempercayai kami bertambah setiap hari dan itulah yang memotivasi saya.
Namun, apakah saya senantiasa menunggu keajaiban? Tentu tidak. Untuk membuat Kue Bugis Tradisional makin dikenali, saya mulai berpromosi lewat media sosial dan dengan cara yang lain. Hidup ini berjalan sesuai sunnatullah dan berproses secara alami.
Alhamdulillah kami sudah move on dari luka lama dan bangkit memandang dunia dengan senyum lebar. Jika ingin gagal, gagallah di waktu muda agar masih ada kesempatan untuk bangkit. Demikian sebuah kata bijak yang pernah saya baca namun lupa sumbernya.
Bersabarlah dalam menghadapi masa sulit sebab hidup pasti berubah! Itu yang sering saya tekankan pada anak-anak. Tidak ada yang abadi di dunia ini termasuk kesulitan. Tetapi perubahan kearah yang baik mestilah dirintis. Salah satunya dengan managemen hati dan keuangan yang baik.
Komentar
Posting Komentar