Senyum di Ujung Gemingmu. By Herlina Madje
Senyum di Ujung Gemingmu
By Herlina madje
Serabut langit yang meruah di penghujung Januari, selalu saja melelehkan kristal di sudut netramu. Sedumu seolah tak pernah usai, meski musim telah berganti lebih dari bilangan jemari.
Rintik serupa bertahun silam, menjadi saksi dari awal nestapa yang menggurat batinmu. Hari terburuk yang pernah ada, masa yang seharusnya tanggal dari untaian waktu.
Penyesalan memang tak pernah datang lebih awal. Ia adalah buah dari keputusan yang salah. Yang tak patut direnda bila menyambangi. Nikmati saja sekejap, lalu tinggalkan serupa jejak-jejak kaki.
Harusnya sejak awal kamu paham bahwa manusia bukan penguasa takdir. Sehingga langkahmu tak terjulur serampangan. Ketidakhati-hatian adalah hulu dari sesalmu.
Sadarkah bila sekarang kamu keliru lagi dalam memilih jalan keluar? Bersemedi dalam tubuh yang terbujur antara hidup dan mati! Bukan ratap yang akan mengentaskan penyesalan, tapi bangkit dan berbenah.
Banyak orang pernah tersalah meski tak semua menganggap pengalaman sebagai guru terbaik. Setidaknya, kisah masa lalu menuntunmu untuk tidak melangkah ke arah yang sama. Menjadilah guru, untuk memetakan tujuan akhir yang akan kau tapak. Ada hikmah di balik setiap kejadian. Dosa pun bukan tak terampunkan.
Bangkitlah! Ingat, kamu salah menyembunyikan aib dengan cara serupa itu. Geming dan bulir-bulir air mata hanya akan mengawetkanmu dalam duka! Jika kamu terus begini, pada akhirnya semua orang bakal tahu.
Kehilangan kekasih, tak pernah lekang mengorek luka di batinmu. Untuk saat ini, hanya itu yang orang pahami! Mereka hanya tahu bila engkau patah hati setelah ditinggal mati calon suamimu! Itu saja. Kamu lihat kan bila tatap iba yang dulu menyertaimu, kini menjauh berganti cibir? Pun jemari, yang pernah gemulai mengusap kepalamu, sekarang luruh dan melambai pergi bukan?
Berjuta manusia patah hati di bumi ini dalam sehari. Kebanyakan bangkit untuk cinta yang baru. Hanya sebagian kecil yang setia mencumbu luka sepertimu. Itu yang membuatmu kehilangan simpati. Bangunlah selagi mereka belum menjauh semuanya.
Tak ada orang yang bisa benar-benar menyesap kepahitan yang kamu rasakan sekuat apa pun mereka berempati. Itu menjadi alasan, mengapa tak ada bahu yang bisa kekal sebagai sandaran. Semua berharap kamu bangun lebih cepat!
Tak letihkah engkau seperti itu? Seolah lisanmu berteriak pada dunia. Pergilah! Biarkan aku dengan luka yang kumekarkan di pucuk-pucuk jiwa. Setelah mereka pergi, apa yang kamu perbuat? Tetap begitu?
Tak ada yang akan mengerti bahwa gulanamu tak hanya tersebab sebuah kehilangan. Lebih dari itu engkau menyimpan onak. Bukankah kamu telah menguncinya rapat-rapat? Jadi mengapa lidah masih terlampau kelu menoreh kekata? Tak harus berteriak pada dunia, cukup pada ibumu saja. Bila dengannya pun kamu enggan, bangkit saja dan lupakan masalahmu! Habis perkara.
"Habiskan masa mudamu, seperti kucing habis kecebur got," umpat ibumu marah menyaksikanmu senantiasa berdiang dalam jiwa yang sama sekali tak hangat. Kamu sehat, itu yang dia tahu! Kamu pun mendengar kata dokter bukan? Mengapa tak minta saja di bawa ke psikiater agar masalahmu tumpah ruah di sana?
Kamu dingin! Apa kamu pikir, nol fonem bisa menjelaskan kabar yang lebih baik? Sungguh benar bila ibumu menganalogikanmu tak ubah kucing. Gigil dalam sorot matamu mewartakan perangai Pussy yang sedang basah kuyup.
"Kenapa tidak sekalian saja kau gila? Agar Ibu bisa mengutusmu ke rumah sakit jiwa!" hentak ibumu putus asa, menggetarkan langit-langit kamar. Tahukah engkau, bila gemingmu menyiksanya sekian lama?
Andai Engkau arca, ia bisa memajangmu di sudut ruang. Nyawamu, ah! Engkau pun barangkali tak lagi nyaman bersamanya. Sesungguhnya, karena dia pula, hingga ibumu menunda langkah mengantarmu ke pemakaman.
"Kamu kenapa?" Bahumu diguncang antara gemas dan geram. Pertanyaan sama yang selalu dilontar ibu, hanya intonasinya meninggi seiring waktu.
Diam adalah emas, tapi bisumu tak kurang dari taring harimau yang memberangus semua kesabaran dan perhatian yang pernah tercurah buatmu. Kamu berharap dimengerti, iya! Tapi mengerti pulalah, bila tubuh ringkih seperti yang kamu pahat pada dirimu tak lebih beban.
Mengapa kamu tak bicara saja? Aib yang kau simpan tak akan luruh karena diammu. Pun tak akan membuncah bila engkau mengutarakannya. Berujarlah, jika itu melegakan. Atau dia akan mengisap habis daging-dagingmu, hingga menyisakan kulit membalut tulang dan dosa, mengerikan! Kamu pernah bergidik bukan melihat penderita aneroxia, yang mengering karena keranjingan tubuh kurus? Berkacalah, agar kamu mengerti bahwa diet ekstrim bukan satu-satunya jalan untuk mengerontangkan raga.
"Jika Engkau tak segera gila, Ibu yang akan mendahuluimu ke rumah sakit jiwa."
"Bunuh saja, Aku, Bu?" Air matamu luruh. Kau tahu? Ibumu tak lagi tersentuh! Seribuan hari ia lalui untuk membujukmu bangkit. Pongahmu memelihara gundah memberinya opsi untuk menyerah. Dia makhluk terakhir yang meninggalkanmu. Setelah nyamuk-nyamuk menjauh karena sungutnya menumpul akibat berbenturan dengan belulangmu.
Orang sehat yang diam seribu basa dalam untaian hari yang tak sedikit, sama menyebalkannya dengan orang sakit yang tak pernah sepi dengan keluh. Kau sudah menjengkelkan!
"Ibu tak mau bikin kotor tangan dengan darah orang bodoh sepertimu."
"Maafkan Aku, Bu."
"Buat apa? Jika Kau terus saja merepotkan Ibu."
"Aku berdosa, Bu."
"Kau pikir semua orang di bumi ini suci?"
"Aku jahat, Bu."
"Memangnya Kau sejahat apa?"
"Bukalah ember berlakban itu, agat Ibu tahu sejahat apa anakmu ini."
Gemas, ibumu melucuti lakban yang merekatkan badan ember dan penutupnya. Ah, ia pasti tak menyangka jika diam yang kaupelihara, berhulu dari sana. Kamu dibungkam rasa bersalah. Terhimpit dosa dan rasa takut. Bagaimana perasaanmu melihatnya terjengkang kaget?
"Rangka bayi? Kau...?" Ibumu luruh gemetar. Pingsan di lantai. Kamu tersenyum menang. Untuk pertama kalinya! Pengakuan membuatmu terbebas. Ibumu mengerti kini, jika kepergian Mahesa, kekasihmu, bukan hanya menyisakan luka. Kamu merdeka kini! Tapi mengapa kamu mengakhiri sungging legamu dengan tawa kepuasan. Tawa panjang yang menggema menakutkan. Seakan memuntahkan setiap kata yang pernah kau kubur. Kamu? Barangkali tak mengapa. Tertawalah sepuasmu. Setidaknya kamu telah melabeli dirimu, dengan sebuah penamaan.
- Selesai -
Komentar
Posting Komentar