Nasib Rekayasa Pikiran? By Herlina Madje
Belasan tahun lalu saya diundang oleh salah seorang teman untuk menghadiri syukuran pindah rumah baru. Ketika sampai di sana saya tertarik melihat garasinya yang mungil. Hanya muat dua motor bila diparkir berdampingan.
"Kenapa garasimu kecil sekali? Bakal renov lagi ini kalo besok-besok kamu beli mobil." Saya berkomentar demikian karena kami memang cukup akrab. Dia hanya tertawa kecut mendengar kata-kata saya.
"Kami tidak mungkin bisa beli mobil," simpulnya yakin. Saya tahu bila biaya rumah tangganya memang besar. Selain punya tiga orang anak waktu itu, teman saya juga menampung beberapa orang adik dan juga iparnya.
"Kenapa tidak bisa? Kalian berdua kerja. Pasti bisa nanti." Saya berusaha meyakinkan. Lagipula, ada masanya orang-orang yang menumpang bakal pergi semua untuk menjalani hidup di tempat lain. Bahkan anak-anak pun ada masanya mereka akan membangun kehidupan baru.
Dia hanya menjulurkan bibir bawah sejauh dua centimeter pertanda tak yakin dengan ucapan saya.
Tahun berganti, orang-orang yang menumpang di rumahnya pun pergi satu demi satu. Tak lama, suaminya juga naik jabatan. Harapan untuk hidup lebih baik mulai terbuka kini. Namun, tak lama setelah terangkat, suaminya mengalami kecelakaan dan tewas di jalan. Mungkin terpukul atas kejadian tersebut, teman saya pun akhirnya sakit-sakitan dan empat tahun kemudian meninggal juga. Sampai ajal menjemput, mereka tak pernah membeli mobil.
Dulu sekali, saat masih gadis, salah seorang teman saya pernah bilang, "Lebih baik punya suami jelek tapi baik daripada ganteng namun kurang ajar."
"Lebih baik ganteng dan baik hati," jawab saya.
"Di manako mau dapat lelaki begitu? Omong kosong kalo ada. Laki-laki kalo ganteng pasti banyak tingkahnya."
Walhasil, dia mendapatkan lelaki yang sangat baik hati namun ... Ah sudahlah.
Di lain waktu, saya ngobrol dengan teman yang lain.
"Pokoknya, suamiku harus kaya, Lin. Kau tahu mi 'kan biaya hidupku seberapa?" Saya tertawa mendengarnya. Seleranya memang tinggi. Dari ujung kaki sampai kepala semua harus bermerk. Belum perawatan kulit dan vitaminnya. Dia puteri dari seorang pejabat di suatu daerah.
"Biar ganteng kalo kere, lewatko. Saya tidak terlalu peduli dengan muka yang penting berduit."
"Gampang ji itu karena kamu cantik, seksi pula."
"Laki-laki kere tidak sepadan to sama saya?"
"Tentu mi."
Lama setelah kami selesai, saya mendapat kabar bila ia menikah dengan pengusaha kaya.
Di lain waktu, saya mengobrol dengan seorang kenalan. Dari bahasa tubuhnya, saya tahu dia tidak begitu percaya diri. Padahal dari postur tubuh dan wajah, dia terbilang menarik. Tak ada alasan buat minder.
"Kenapa menyendiri?"
"Lagi malas gabung sama yang lain."
"Kenapakah?"
"Saya tidak enak kalo semua bicara rumah tangga." Dia memang masih lajang ketika itu. Tapi seharusnya tak perlu minder. Umurnya juga belum tiga puluh.
"Astaga. Segitumu? Jodohmu bakal datang juga nanti."
"Kodong. Siapa yang bakal suka perempuan kayak saya? Saya ini apa ji kodong (saya ini apalah kasian)."
Belum lama saya bertemu dengannya dan dia masih sendiri.
Dulu, ayah saya pernah bilang, "karena hidungmu tidak mancung makanya kamu harus kawin dengan laki-laki yang hidungnya mancung biar anakmu tidak pesek." Kata-kata itu seperti ditanam di pikiran saya. Waktu itu saya tidak berpikir bagaimana caranya mendapatkan laki-laki mancung? Saya hanya berpikir bahwa suami saya HARUS mancung seperti kata ayah. Alhamdulillah, ketemu! Ayo, jaga pikiran untuk hidup lebih baik.
-------------------------------------------------- S E L E S A I ---------------------------------------------
Penulis : Herlina madje
Facebook : https://web.facebook.com/herlina.madje
Kontak admin :
Admin 1 : ๐WA 085-298-476-473
Admin 2 : ๐WA 0853-9836-2724
Admin 3 : ๐WA 085-299-272-503
Komentar
Posting Komentar