Ada Apa Dengan Perempuan? By Herlina Madje


Beberapa hari lalu, saya datang ke pengadilan agama untuk menjadi saksi dalam sidang penetapan ahli waris salah seorang sepupu. Seperti biasa, saya selalu bersemangat untuk menghadiri kegiatan-kegiatan baru. Sebagai orang yang menyenangi dunia kepenulisan pengalaman tersebut bisa menjadi referensi bila suatu ketika akan menulis tema terkait tempat maupun kegiatan yang pernah saya hadiri. Saking antusiasnya, sidang baru mulai pukul sembilan pagi kami sudah tiba di lokasi sejam sebelumnya. Walhasil saya mendapatkan nomor antrian ke dua dan menemu kursi lowong tepat di depan ruang sidang.
Saya duduk di sana dengan perasaan tak sabar, ingin lekas-lekas masuk dan duduk dihadapan majelis hakim. Ini pengalaman pertama dan langka makanya saya penasaran ingin merasakan sensasinya. Tentu akan mudah menulis bila pernah merasakan 'feel' dari sebuah adegan.
Antrian nomor satu masuk ruang sidang, saya sedikit berdebar. Dasar! Saya merasa lucu dengan diri sendiri. Orang-orang di sekitar saya, yang hampir semuanya perempuan, mereka nampak tenang-tenang saja. Yah ... begitulah, seumur-umur baru sekali itu menginjak pengadilan agama dan harus masuk ruang sidang pula.
Setelah beberapa lama, nomor antrian kedua dipanggil lewat pengeras suara dan orang yang baru usai sidang pun keluar. Saya lekas berdiri antara penasaran dan sedikit berdebar. Dengan mantap saya melangkah memasuki ruang sidang bersama keluarga yang meminta kesaksian. Seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota serta seorang panitera sedang menunggu di dalam. Saya mencoba menerka pertanyaan yang bakal mereka ajukan sambil menyelisik wajah hakim. Namun rupanya kami hanya mendapat kabar penundaan untuk sidang penetapan ahli waris. Persidangan diundur hingga semua sidang perceraian selesai. Alamak, padahal dari dua puluh kasus yang akan disidangkan hari itu, tujuh belas diantaranya adalah kasus perceraian. Artinya kami harus menunggu lama! Rasa penasaran terpaksa saya kemas rapi-rapi dan kembali duduk tenang. Keluarga yang meminta saya jadi saksi berkali-kali meminta maaf karena penundaan ini meski sebenarnya saya santai saja. Saya senang bertemu dengan orang-orang baru dan mengenal mereka.
Kursi di depan pintu ruang sidang yang baru beberapa menit saya tinggalkan belum lagi terisi ketika kami keluar. Saya pun kembali duduk di sana melanjutkan penantian. Belakangan saya sadari bila kursi tersebut memberi banyak manfaat. Silih berganti orang duduk di samping saya menunggu giliran masuk dan menjadi teman ngobrol.
"Ibu mau cerai?" Seorang wanita muda yang datang beberapa saat setelah saya duduk, mulai menyapa ramah.
Saya tersenyum sambil menggeleng,"Tidak. Cuma menemani keluarga."
"Menggugat cerai?"
"Bukan. Untuk penetapan ahli waris."
"Oh." Wanita belia tersebut lantas tersenyum ramah. Wajahnya putih bersih dengan bulu mata berderet lentik. Sepasang bibirnya dipulas dengan lipstik matte warna merah bata.
"Kalau kita mau sidang apa?" Saya balik bertanya. (Untuk teman di luar makassar, kata 'kita' di kalimat di atas bukan berarti 'kamu dan aku', tapi 'kamu' namun dalam makna yang lebih halus.)
"Sidang cerai, Bu."
Saya mengernyitkan kening tiba-tiba,"digugat cerai sama suami?" Hanya pertanyaan itu yang terpikir. Sejak dulu saya hanya sering mendengar kabar perempuan yang dicerai oleh suami.
"Saya yang menggugat cerai, Bu. Kami baru sembilan bulan menikah tapi suami saya kasar sekali. Saya tidak tahan dipukuli dan dimaki-maki tiap hari. Untung saya belum punya anak jadi tidak ada beban kalo cerai." ulasnya panjang lebar. Saya jadi speechless. Dulu sempat membaca berita kalau sekarang ini perempuan yang menggugat cerai suami kian banyak jumlahnya dan saya tidak menyangka bila salah satu di antaranya sedang duduk bersama saya. Lelakinya 'sakit' mungkin. Masa iya isteri cantik disiksa?
"Memang sebelum nikah, gak sempat kenalan?"
"Kami pacaran empat tahun, Bu. Tapi dulu dia baik. Tidak kayak sekarang suka main kasar," paparnya. Setiap perubahan pasti memiliki sebab. Tapi sudahlah tentu telah diupayakan jalan keluarnya pada saat mediasi.
Setelah perempuan muda tadi masuk ruang sidang, posisinya digantikan oleh wanita lain yang umurnya sedikit lebih tua. Setelah saling bertegur sapa dengan ramah, teman ngobrol saya itu pun kemudian membeberkan alasan perceraiannya.
"Saya yang mau cerai, Bu. Saya tidak tahan. Suami saya cemburuan sekali. Saya kerja di rumah sakit tapi masa bercanda sama dokter saja tidak boleh? Padahal kami satu team dan sudah seperti saudara. Semua laki-laki yang dekat sama saya dicemburui. Saya dikekang dan bahkan sering dilarang ke kantor. Capek saya. Lebih baik cerai." Lagi-lagi saya terdiam. Lelaki cemburuan, ada ternyata! Hidup ini menyajikan banyak sekali kemungkinan atau bahkan tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Islam menganjurkan lelaki untuk memiliki sifat cemburu namun bila kadarnya sudah kelewatan agaknya tidak sehat juga. Ujung-ujungnya bisa seperti ini.
Setelah perempuan tadi memasuki pula ruang sidang, kursi lowong di samping saya kembali terisi. Kali ini oleh seorang perempuan yang usianya lebih tua dari saya. Seperti sebelumnya, kami pun mengobrol untuk membunuh rasa jenuh.
"Suamiku gaya-gayaan pergi kawin lagi, sekali kugugat cerai ki. Nakira kapang saya takut menjanda. De ee ... tolona tong itu perempuan. Mauna sama laki-laki tua nakira kapang jai doe'nna.(Disangka mungkin saya takut menjanda. De ee ... bodohnya juga itu perempuan. Maunya sama laki-laki tua, mungkin disangka banyak uangnya.)" Saya tersenyum mendengar alasan ini. Mungkin si ibu sudah lama muak dengan suami hanya saja baru ketemu alasan bercerai. Ada-ada saja. Mau cerai kok, kayak mau membuang sendal jepit yang sudah putus.
Seperti dua teman ngobrol saya sebelumnya, perempuan ini pun sepertinya tidak terluka oleh rencana perceraian. Ia nampak tenang. Entah nanti setelah putusan cerai dijatuhkan. Bagaimana pun, tidur sendiri itu tidaklah menyenangkan kecuali tempat tidurnya sempit.
Orang berikutnya pun memilih menggugat cerai suami karena alasan yang lain lagi,"Suami saya kurang ajar. Kalo sama keluarganya royal sekali, giliran ke orangtua saya pelitnya minta ampun. Masa tiap lebaran tidak mau pulkam ke orangtua saya maunya ke kampungnya saja. Dasar egois," jelas perempuan itu berapi-api. Ada juga ternyata laki-laki model begini. Memang dipikir isterinya lahir dari perut bumi? Tetapi, apa iya nekat bercerai karena alasan itu? Lalu rasa cinta tersisip di mana? Atau telah pudar digerogoti ketidakadilan? Pernikahan sejatinya adalah surga dunia namun wujudnya bisa amat jauh berbeda. Bahagia memang butuh skill yang mumpuni, bukan hanya sekadar cantik, ganteng atau kaya.
Orang berikut lain lagi alasannya.
"Suami saya kurang perhatian. Cuek. Hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Tadinya saya mengalah terus tapi lama-lama bosan juga. Buat apa punya suami kalau tidak ada kebersamaan? Saya cuma dibikin repot mengurusi kebutuhannya."
"Mungkin sedang fokus sama kerjaan." Saya menyodorkan sebuah kemungkinan. Lelaki kalau cuek biasanya memang begitu, pasti sedang fokus pada sesuatu.
"Astaga. Kalau uangnya banyakji, Bu? Ini, kere tommi, cuek tommi (sudah kere cuek pula.)" Saya jadi bingung harus bilang apa. Pekerjaan dengan gaji kecil juga butuh untuk fokus. Tapi ... Ah, kebangetan juga sih kalau sepanjang waktu cuek. Hanya laki-laki bodoh yang tak bisa membagi waktu dengan baik. Mestinya kalau tak punya uang banyak tutupilah hal itu dengan memberi perhatian lebih. Jika tak bisa memberi keduanya, satu saja sudah memadai daripada tidak dua-duanya.
"Padahal mantanku dulu baik sekali,"ucapnya lirih. Saya agak khawatir mendengar pernyataan tersebut. Orang ketiga, biasanya merupakan penyebab keretakan yang paling ampuh. Padahal segala sesuatu kalau belum dimiliki biasanya terlihat lebih bagus. Gunung saja terlihat cantik kalau dari kejauhan.
"Dulu menikah karena dijodohkan ya?" Saya sekadar menebak. Bila ada kisah yang belum kelar tentang mantan biasanya tersebab sesuatu di masa lalu.
"Iya, Bu. Kapok mak. Besok-besok kalo ada anakku tidak mau ka jodohkan ki sama pilihanku. Susah kalo tidak ada cinta, Bu." Entahlah! Ini alasan yang biasa saya dengar dari pasangan muda yang memutuskan berpisah. Dahulu, orang-orang menikah umumnya lewat perjodohan dan mereka bisa langgeng. Apa begitu susah menumbuhkan rasa cinta setelah menikah? Apa orang-orang berpikir bila cinta hanya bisa ditumbuhkan lewat masa pacaran?
Hari itu, hampir semua sidang cerai yang digelar karena gugatan isteri. Saya jadi berpikir, ada apa dengan perempuan masa kini? Jika dulu status janda menjadi momok, sekarang sepertinya sudah bergeser. Satu kesimpulan yang bisa saya ambil dari obrolan ringan siang itu adalah bahwa perempuan-perempuan itu sudah lebih merdeka menyuarakan perasaan dan sikapnya. Mereka tak mau lagi berada dalam pernikahan yang menyiksa baik lahir maupun batin. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi lelaki untuk lebih menjaga sikap. Zaman sudah berubah dan telah mengubah cara pandang perempuan terhadap pernikahan.
Setelah ketujuh belas sidang cerai tersebut usai, nomor antrian kami kembali dipanggil. Saya segera menyerbu masuk ruang sidang.
"Saksi silakan tunggu di luar, nanti dipanggil baru boleh masuk," perintah hakim ketua setelah mengetahui status saya yang bukan pemohon. Astaga, begonya diri ini! Bukannya bila menonton acara persidangan lazimnya memang begitu? Saksi dihadirkan saat dibutuhkan dan bukan nyelonong masuk sendiri. Saya jadi malu sendiri. Tapi ... bodoh amatlah! Dua kali diusir dari ruang sidang membuat rasa penasaran saya berkurang separuh.
Setelah menunggu kembali beberapa lama akhirnya saya dipanggil juga. Di dalam, hakim ketua menanyakan identitas saya sebelum membacakan sumpah saksi yang harus saya ikuti. Setelah itu barulah saya ditanya-tanya. Semua berjalan santai. Saya tak merasa takut, canggung atau berdebar lagi tapi saya heran mengapa jemari saya mendingin? Apa saya salting karena hakimnya ganteng?
***

Penulis : Herlina madje

Facebook : https://web.facebook.com/herlina.madje

Kontak admin :

Admin 1 : ๐Ÿ“žWA 085-298-476-473

Admin 2 : ๐Ÿ“žWA 0853-9836-2724

Admin 3 : ๐Ÿ“žWA 085-299-272-503



Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUE BUGIS TRADISIONAL

TESTIMONI KUE BUGIS TRADISIONAL

Senyum di Ujung Gemingmu. By Herlina Madje